Persahabatan merupakan salah satu penampakan naluri manusia. Kepada sahabat, seseorang merasa sederajat. Satu dan yang lainnya tidak merasa lebih tinggi. Seseorang akan merasa nyaman hidupnya dengan kehadiran sahabat di sisinya. Mereka mendapatkan perhatian dan kasih sayang terpercaya tanpa pamrih. Mereka dapat saling berkeluh kesah berbagi rasa. Baik suka maupun duka. Seorang sahabat tidak akan berat meluangkan waktu untuk mendengarkan sahabatnya. Seorang akan merasa dihargai dengan kepercayaan sahabatnya. Mereka saling menerima apa adanya kekurangan dan kelebihan sahabatnya. Mereka akan berupaya agar sahabatnya selalu mendapat ridlo Allah SWT. Jika ada persoalan diantara mereka, akan diselesaikan dengan musyawarah. Tentu munsyawarah dengan komunikasi yang hangat, penuh ungkapan kasih.
Hubungan suami istri lebih dari pada persahabatn dua orang manusia. Suami telah menjadi sebelah sayap bagi istrinya. Isteri adalah sayap yang sebelahnya lagi. Suami isteri benar-benar menyatu seperti menyatunya warna kuning dan biru menjadi hijau.
Kepemimpinan suami dalam rumah tangga tak sama dengan kepemimpinan penguasa terhadap rakyatnya. Tak sama dengan kepemimpinan komandan perang terhadap pasukannya. Kepemimpinan suami bukan pengistimewaan komando dan fasilitas. Kepemimpinan suami adalah semata karena Allah telah memilih dan menunjuknya. Allah yang memberi mandat dengan kemampuan memimpin dan menafkahi isteri dan anak-anaknya. Rasulullah SAW, sebagai tauladan kita tak pernah sekalipun berlaku kasar kepada istri dan anaknya. Beliau mengasihi dan menyayangi mereka dengan tulus dan penuh kelembutan. Beliau adalah orang yang paling baik kepada istri dan anaknya. “Khairukum khairukum li ahlih wa ana khirukum li ahlii” (HR. Ibn Hibban).
Pelayanan isteri terhadap suami bukanlah penghambaan dan penghinaan. Tapi relasi yang akrab, penuh kehangatan, saling mengerti, dan berusaha sebaik mungkin mendampingi suami. Keduanya hidup sebagai sahabat. Saling menyayangi, mengasihi dan membutuhkan, member dan menerima sebatas apa yang telah ditetapkan Allah atas keduanya.
Sahabat sejati tak rela suaminya salah melangkah. Tak rela suami tersentuh api neraka kelak. Jika suami melakukan kesalahan atau kelalaian, maka dengan penuh rasa hormat dan cinta isteri akan mengingatkannya. Dengan nama Allah isteri tidak akan rela suami melakukan dosa hingga mendapat murkaNya.
Begitu pula jika isteri melakukan kesalahan, maka dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang sayang suami harus membimbing dan mengarahkannya. Suami tidak serta marah, menghujat, mencela, memojokkan, menghina apalagi member sanksi.
Tunduk kepada Allah dan segala aturanNya. Inilah yang melahirkan kompetensi insan sejoli. Yang saling mengasah kemapuan dan mengeliminasi kelemahan. Keduanya akan menjadi mutiara umat, yang tak hanya handal dalam menyelesaikan urusan pribadi dan keluarga, namun juga kompeten menyelesaikan persoalan umat. Suami isteri bahu membahu dan berjuang bersama untuk dapat bergandengan tangan, masuk ke dalam Surga Allah SWT.
Be Smart!
Wahai para istri, tugas berat seorang fulltimer wife memang tidak ringan. Karena bersama dengan jabatan seorang istri, melekat juga jabatan sebagai ibu, sebagai hamba Allah dan sebagai anggota masyarakat. Semuanya menuntut kerja keras dan tidak bisa diabaikan satupun. Ada hak suami, hak anak-anak dan hak masyarakat. Semuanya wajib dipenuhi dalam rangka memenuhi misi hidup sebagai hamba Allah SWT. Tak mungkin menjadi pekerja parttimer sebagai istri. Dibatasi antara pukul 22.00-02.00, misalnya. Mungkinkah? Sisanya terbagi menjadi tukang masak saja pada pagi hingga siang hari, kemudian terjun ke masyarakat seraya melepas keistriannya. Ini berbahaya.
Istri mesti smart (cerdas). Mengatasi keterbatasan dengan cerdas. Merubah kendala menjadi potensi, mengubah pesimisme menjadi optimisme, mengubah tantangan menjadi peluang. Menjalankan semua peran dengan penuh semangat iman. Mengatur waktu dengan sangat hati-hati. Tak sedikitpun dibiarkan untuk mnentang aturan Allah, mengabaikan hak suami, hak anak, atau hak siapapun yang merupakan kewajibannya.
Smart bukan sekedar diukur dari angka terbaik yang diperolehnya dari lembar ujian akademik. Bukan cuma di kampus atau di sekolah. Smart yang dimaksud di sini adalah kemampuan untuk menjadi problem solver bagi setiap persoalan. Baik persoalan yang menimpa dirinya, suami, anak atau umatnya. Hinga suami dan anak tak pernah merasa kehilangan hak atas istri dan ibunya, sesibuk apapun istri. Jika tidak smart, akan sulit bagi istri menyempurnakan perannya.
Smart tetap mesti dilandasi semangat iman. Sehingga kita tak pernah merasa berat menunaikan setiap kewajiban. Dengan semangat iman, energi dapat dikelola secara tepat, sejalan dengan aturan Allah. Bukan berdasarkan selera yang muncul karena ambisi pribadi.
Biduk rumah tangga akan mengarungi lautan dunia. Merajut bekal menuju kehidupan setelah maut. Nahkoda takkan bisa bekerja sempurna tanpa awak yang sigap, cekatan dan membantu nahkoda. Bersama-sama menghadapi terpaan ombak bahkan badai. Mengatur perbekalan agar cukup hingga tiba dipelabuhan, dan mencarinya kembali sebelum habis. Inilah sinergi yang manis dalam rumah, biduk kecil di tengah samudera. Bagaimana nahkoda dapat berkonsentrasi menghindar menabrak karang jika jiwanya tidak tentram. Beban kecemasan tak terhiburkan, beban kebimbangan tak tertunjuki.
Penanggung jawab rumah, penentram jiwa, sekaligus mitra setia dalam suka dan duka. Inilah istri, dengan kasih sayang penuh kemesraan merajut solusi dan solusi dalam setiap percikan kesulitan yang menerpa. Tak sepatah katapun ia relakan melukai suami. Namun tak berarti ia berdiam diri dengan kekeliruan suami. Nasehat bijak disampaikan dengan hati-hati agar tak membangkitkan amarah, melunturkan kasih sayang. Menasehati tanpa menghakimi, membantu tanpa meremehkan, member masukan tanpa menggurui.
Rumah yang tertib, suasana sinergi menyelimuti. Saling asah, asih dan asuh, hingga setiap terpaan riak ombak hingga deburan badai tak menggoyahkan biduk cinta ini, menyusur jalan menuju Surga.Insya Allah…
(Disarikan dari buku Family Guideline 2 dengan beberapa perubahan)
Hubungan suami istri lebih dari pada persahabatn dua orang manusia. Suami telah menjadi sebelah sayap bagi istrinya. Isteri adalah sayap yang sebelahnya lagi. Suami isteri benar-benar menyatu seperti menyatunya warna kuning dan biru menjadi hijau.
Kepemimpinan suami dalam rumah tangga tak sama dengan kepemimpinan penguasa terhadap rakyatnya. Tak sama dengan kepemimpinan komandan perang terhadap pasukannya. Kepemimpinan suami bukan pengistimewaan komando dan fasilitas. Kepemimpinan suami adalah semata karena Allah telah memilih dan menunjuknya. Allah yang memberi mandat dengan kemampuan memimpin dan menafkahi isteri dan anak-anaknya. Rasulullah SAW, sebagai tauladan kita tak pernah sekalipun berlaku kasar kepada istri dan anaknya. Beliau mengasihi dan menyayangi mereka dengan tulus dan penuh kelembutan. Beliau adalah orang yang paling baik kepada istri dan anaknya. “Khairukum khairukum li ahlih wa ana khirukum li ahlii” (HR. Ibn Hibban).
Pelayanan isteri terhadap suami bukanlah penghambaan dan penghinaan. Tapi relasi yang akrab, penuh kehangatan, saling mengerti, dan berusaha sebaik mungkin mendampingi suami. Keduanya hidup sebagai sahabat. Saling menyayangi, mengasihi dan membutuhkan, member dan menerima sebatas apa yang telah ditetapkan Allah atas keduanya.
Sahabat sejati tak rela suaminya salah melangkah. Tak rela suami tersentuh api neraka kelak. Jika suami melakukan kesalahan atau kelalaian, maka dengan penuh rasa hormat dan cinta isteri akan mengingatkannya. Dengan nama Allah isteri tidak akan rela suami melakukan dosa hingga mendapat murkaNya.
Begitu pula jika isteri melakukan kesalahan, maka dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang sayang suami harus membimbing dan mengarahkannya. Suami tidak serta marah, menghujat, mencela, memojokkan, menghina apalagi member sanksi.
Tunduk kepada Allah dan segala aturanNya. Inilah yang melahirkan kompetensi insan sejoli. Yang saling mengasah kemapuan dan mengeliminasi kelemahan. Keduanya akan menjadi mutiara umat, yang tak hanya handal dalam menyelesaikan urusan pribadi dan keluarga, namun juga kompeten menyelesaikan persoalan umat. Suami isteri bahu membahu dan berjuang bersama untuk dapat bergandengan tangan, masuk ke dalam Surga Allah SWT.
Be Smart!
Wahai para istri, tugas berat seorang fulltimer wife memang tidak ringan. Karena bersama dengan jabatan seorang istri, melekat juga jabatan sebagai ibu, sebagai hamba Allah dan sebagai anggota masyarakat. Semuanya menuntut kerja keras dan tidak bisa diabaikan satupun. Ada hak suami, hak anak-anak dan hak masyarakat. Semuanya wajib dipenuhi dalam rangka memenuhi misi hidup sebagai hamba Allah SWT. Tak mungkin menjadi pekerja parttimer sebagai istri. Dibatasi antara pukul 22.00-02.00, misalnya. Mungkinkah? Sisanya terbagi menjadi tukang masak saja pada pagi hingga siang hari, kemudian terjun ke masyarakat seraya melepas keistriannya. Ini berbahaya.
Istri mesti smart (cerdas). Mengatasi keterbatasan dengan cerdas. Merubah kendala menjadi potensi, mengubah pesimisme menjadi optimisme, mengubah tantangan menjadi peluang. Menjalankan semua peran dengan penuh semangat iman. Mengatur waktu dengan sangat hati-hati. Tak sedikitpun dibiarkan untuk mnentang aturan Allah, mengabaikan hak suami, hak anak, atau hak siapapun yang merupakan kewajibannya.
Smart bukan sekedar diukur dari angka terbaik yang diperolehnya dari lembar ujian akademik. Bukan cuma di kampus atau di sekolah. Smart yang dimaksud di sini adalah kemampuan untuk menjadi problem solver bagi setiap persoalan. Baik persoalan yang menimpa dirinya, suami, anak atau umatnya. Hinga suami dan anak tak pernah merasa kehilangan hak atas istri dan ibunya, sesibuk apapun istri. Jika tidak smart, akan sulit bagi istri menyempurnakan perannya.
Smart tetap mesti dilandasi semangat iman. Sehingga kita tak pernah merasa berat menunaikan setiap kewajiban. Dengan semangat iman, energi dapat dikelola secara tepat, sejalan dengan aturan Allah. Bukan berdasarkan selera yang muncul karena ambisi pribadi.
Biduk rumah tangga akan mengarungi lautan dunia. Merajut bekal menuju kehidupan setelah maut. Nahkoda takkan bisa bekerja sempurna tanpa awak yang sigap, cekatan dan membantu nahkoda. Bersama-sama menghadapi terpaan ombak bahkan badai. Mengatur perbekalan agar cukup hingga tiba dipelabuhan, dan mencarinya kembali sebelum habis. Inilah sinergi yang manis dalam rumah, biduk kecil di tengah samudera. Bagaimana nahkoda dapat berkonsentrasi menghindar menabrak karang jika jiwanya tidak tentram. Beban kecemasan tak terhiburkan, beban kebimbangan tak tertunjuki.
Penanggung jawab rumah, penentram jiwa, sekaligus mitra setia dalam suka dan duka. Inilah istri, dengan kasih sayang penuh kemesraan merajut solusi dan solusi dalam setiap percikan kesulitan yang menerpa. Tak sepatah katapun ia relakan melukai suami. Namun tak berarti ia berdiam diri dengan kekeliruan suami. Nasehat bijak disampaikan dengan hati-hati agar tak membangkitkan amarah, melunturkan kasih sayang. Menasehati tanpa menghakimi, membantu tanpa meremehkan, member masukan tanpa menggurui.
Rumah yang tertib, suasana sinergi menyelimuti. Saling asah, asih dan asuh, hingga setiap terpaan riak ombak hingga deburan badai tak menggoyahkan biduk cinta ini, menyusur jalan menuju Surga.Insya Allah…
(Disarikan dari buku Family Guideline 2 dengan beberapa perubahan)
0 komentar:
Posting Komentar