Lahir di Kampung Carikan, Bubutan, Surabaya pada 1884 M. Wafat Tahun 1962. Dimakamkan di Tembok, Surabaya. Pendidikan SD Belanda, Pesantren Buntet Cirebon, Pesantren Siwalan. Panji, Sidoarjo, dan Pesantren Kiai Cholil Bangkalan. Putra/Putri 3 Orang
Perjuangan/Pengabdian :
Mengajar di Madrasah Nahdlatul Wathan, kelompok diskusi Tashwirul Afkar, Pencipta Lambang NU, Pengurus HBNO (PBNU, sekarang), anggota Konstituante.
Mengajar di Madrasah Nahdlatul Wathan, kelompok diskusi Tashwirul Afkar, Pencipta Lambang NU, Pengurus HBNO (PBNU, sekarang), anggota Konstituante.
Kiai Pecinta Seni, dan Pencipta Lambang NU
Sosok KH. Ridlwan Abdullah tidak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan NU pada awal pertumbuhannya. Kiai yang dilahirkan di Kampung Carikan Gg. I Kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan pada 1884 M ini merupakan pencipta lambang NU. Bahkan di rumahnya itu, ditempati penandatanganan prasasti berdirinya Nahdlatul Ulama'.
Kiai Ridlwan adalah putra bungsu KH. Abdullah dari empat bersaudara. Setamat dari SD Belanda, dia belajar ke beberapa pesantren. Diantaranya di Pesantren Buntet Cirebon, Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, dan Pesantren Kiai Cholil Bangkalan. Di pesantren terakhir ini, dia cukup lama nyantri. Ayahnya sempat mengirim Ridlwan ke Pesantren Buntet di Cirebon, agar mengetahui kampung halaman nenek moyangnya. Konon dia masih mempunyai darah Cirebon. KH. Mahrus Ali (Kediri) juga masih ada hubungan kerabat dengannya.
Kiai Ridlwan termasuk orang bumiputra yang berkesempatan mengeyam pendidikan dasar di sekolah Belanda. Tampaknya dari situ pengetahuan teknik dasar melukis dan menggambar diperoleh. Bahkan dia tergolong anak yang pandai. Sampai-sampai ada seorang Belanda yang bermaksud mengadopsinya. Namun Ridlwan kecil lebih memilih melanjutkan pendidikan di pesantren.
Kiai Ridlwan menikah pertama kali sekitar tahun 1910. Di tengah kebahagiaan membangun kehidupan rumah tangganya, Makiyyah, sang istri dipanggil Allah SWT dalam usia muda, dan meninggalkan tiga anak yang masih kecil. Sebagai sahabat karib, dan kawan seperjuangan, KH. Abdul Wahab Chasbullah merasa kasihan melihat keluarga Kiai Ridlwan sepeninggal istrinya. Karena itu, Kiai Wahab tak henti-hentinya menyarankan agar Kiai Ridlwan menikah lagi. Atas desakannya itu, kemudian Kiai Ridlwan menikah lagi dengan Siti Aisyah dari Bangil, yang masih ada hubungan keluarga dengan Nyai Wahab.
Dilingkungan NU, beliau dikenal sebagai tiga serangkai; KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Mas Alwi Abdul Azis (pencipta nama dan predikat NU) dan Kiai Ridlwan, yang juga ikut membidani kelahiran NU. Sebelum organisasi Islam terbesar di Indonesia ini berdiri, Kiai Ridlwan secara aktif membantu mengajar di Madrasah Nahdlatul Wathan – lembaga pendidikan yang didirikan oleh Kiai Wahab pada 1916- dan aktif dalam kelompok diskusi Tashwirul Afkar (1918). Dua lembaga itulah yang menjadi embrio lahirnya organisasi NU pada 16 Rajab 1345 H atau 31 Januari 1926 M.
Pada Muktamar ke 2 NU di Surabaya, tepatnya pada Ahad 9 Oktober 1927 M, bertepatan pada 12 Rabiul Tsani 1346 H, terpasang vandel berukuran besar bergambar lambang organisasi NU, yang dipasang tepat di pintu gerbang Hotel Peneleh, lokasi muktamar. Setiap orang yang lewat di depan hotel, dan pejabat yang mewakili Pemerintah Hindia Belanda merasa tertegun melihat keelokan lambang tersebut, demikain juga dengan Bupati Surabaya. Namun, sewaktu H. Hasan Gipo, Ketua NU waktu itu ditanya tentang arti lambang tersebut, tidak bisa memberikan keterangan. Dia mengatakan bahwa lambang itu diciptakan Kiai Ridlwan Abdullah.
Karenanya, untuk menjawab pertanyaan tersebut, kemudian diadakan majelis khusus membahas arti lambang NU yang dibuat Kiai Ridlwan. Beberapa wakil pemerintah, para kiai, seperti Kiai Raden Adnan Solo, yang bertindak sebagai notulis, termasuk juga Hadratusysyaikh KH. Hasyim Asy'ari secara aktif mengikuti majelis tersebut.
Dalam penjelasannya, Kiai Ridlwan menguraikan bahwa tampar (tali) melambangkan agama sesuai dengan firman Allah, "Berpegang teguhlah pada tali agama Allah, dan janganlah bercerai-berai." Posisi tampar yang melingkari bumi melambangkan ukhuwah (persatuan) kaum muslimin seluruh dunia. Sedangkan untaian tampar berjumlah 99 buah melambangkan Asmaul Husna. Bintang sembilan melambangkan Wali Songo, atau bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Muhammad SAW, empat bintang kecil di samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur Rasyidin, dan empat bintang kecil di bagian bawah melambangkan madzahibul arba'ah (Syafi'I, Hanafi, Maliki dan Hambali). Sejak itu, peserta majelis sepakat menerima lambang tersebut untuk diputuskan dalam Muktamar ke-2 menjadi lambang NU.
Ketika ditanya Kiai Hasyim Asy'ari, Rois Akbar HBNO (sekarang PBNU, red.) tentang proses awal pembuatan lambang NU, Kiai Ridlwan menjelaskan jika proses pembuatan lambang itu atas dorongan KH Wahab Chasbullah, Ketua Panitia Muktamar, dua bulan menjelang pelaksanaan muktamar. Kebetulan Kiai Ridlwan sebagai ulama yang mempunyai keahlian melukis. Tugas itu, dilaksanakan setelah melalui shalat Istikharah, yang pertandanya beliau bermimpi melihat gambar di langit yang biru dan jernih. Bentuknya mirip dengan gambar dan lambang NU seperti yang kita lihat sekarang.
Menariknya, sewaktu kiai berputra tiga ini mencari kain untuk lambang tersebut sebagai dekorasi di medan muktamar, beberapa toko kain di Surabaya yang didatangi, semua tidak ada yang cocok dengan warna kain yang terlihat dalam mimpinya. Setelah sempat keliling, kain warna hijau itu ditemukan di Malang. Namun, sayang jumlahnya hanya sedikit, yakni berukuran 4 x 6 meter. Lantas dibeli dan dibawa ke Surabaya untuk dijadikan dasar lukisan lambang NU.
Diantara karya monumental Kiai Ridlwan lainnya, bangunan Masjid Kemayoran Surabaya, dengan arsitektur khas yang dirancang sendiri. Selain itu, pada Muktamar ke XX NU di Surabaya, beliau mencipta lambang NU berukuran raksasa dalam bentuk utuh. Lambang dunianya dibuat bulat, seperti bola sehingga dapat diputar. Lambang tersebut diletakkan di muka THR (Taman Hiburan Rakyat), pusat kegiatan muktamar. Dalam proses pembuatannya Kiai Ridlwan banyak melibatkan anak-anak muda sebagai tenaga pelaksana.
Kiai Ridlwan dikenal memiliki sikap tegas bila yang dihadapi persoalan prinsipi. Suatu contoh, menurut rencana, para pejuang Islam yang gugur dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya akan dimakamkan di pemakaman Kristen –Makam Kembang Kuning-. Mendengar rencana itu, Kiai Ridlwan melarang keras, hingga akibatnya para jenazah itu tak segera di kuburkan. Jenazah para pejuang itu sampai diinapkan di RSU Simpang (sekarang Delta Plaza). Kemudian Kiai Ridlwan mencari alternatif tempat di sebidang tanah depan Yan Mark (THR), sekarang menjadi Surabaya Mall. Kiai Amin, salah seorang ahli falak, waktu itu langsung datang ke lokasi untuk mengukur arah kiblatnya. Di situlah akhirnya jenazah para syuhada dimakamkan. Tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa, saat ini terletak di Jalan Kusuma Bangsa.
Seperti dikisahkan oleh putranya, Kiai Mudjib, Kiai Ridlwan sering juga ditemui Van der Plas. Sikap Van der Plas terhadap ulama memag begiru simpatik dan ramah. Bahkan, Ia menguasai Bahasa Arab secara baik dan sempurna, tetapi hatinya tetap kafir. Dia peranakan Ambon yang menyokong gigih imperialisme Belanda di Indonesia. Boleh jadi, Kiai Ridlwan hendak dimanfaatkan pengaruhnya. Berhasilkan Van der Plas? Tidak. Van der Plas sampai putus asa, Kiai Ridlwan tak mempan dipengaruhi dengan bujuk rayunya.
Kiai yang dermawan dan rela berkorban demi kepentingan umat ini wafat pada 1962 dan dimakamkan di pemakaman Tembok, Surabaya.
0 komentar:
Posting Komentar